Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan

(Image by Stephane Bidouze on Canva Studio) Segumpal yang menjadi karunia dengan bilangan kedua telah ditiupkan. Yang pertama tlah hilang, m...

(Image by Stephane Bidouze on Canva Studio)

Segumpal yang menjadi karunia dengan bilangan kedua telah ditiupkan.
Yang pertama tlah hilang, menjadi tabungan, katanya.
Lalu bilangan tiga hingga lima juga ramai menambah karunia, 
"sempurna sudah," begitu batinmu.

Dua hingga lima kaupeluk dan pupuk.
Mereka dirawat dalam kandang yang kaubuat,
boleh berkeliaran tapi berulang kaubilang
bahwa keempatnya adalah milikmu. 

Lalu, dengan aturan dan pikiran yang kauramu
hingga perlu diteguk oleh dua hingga lima
secara penuh tanpa ragu.

"Ini istanaku," begitu katamu.
Lalu, dengan aturan dan pikiran yang kauramu
khusus kauberi pada yang terlihat paling berani—
atau mungkin yang satu-satunya berbeda sendiri.

"Ini istanaku," begitu katamu.
Lalu, kandang diperhalus dan dipercantik
agar yang berbeda sendiri mampu terus berada di dalam 
sangkar karena ia milikmu
karena aturan dan pikiran yang diramu telah
menjadikanmu yang paling tahu, mampu, dan buntu.

Bagaimana yang berbeda sendiri
terlihat paling berani 
padahal ia selalu dibuntuti?

Bagaimana yang berbeda sendiri
menjadi mampu sebagai berani
padahal ia justru tak mampu berdiri?

Bagaimana yang berbeda sendiri
menjadi mampu sebagai berani
padahal ia menjadi dalih
dan dalil
dan tameng
dan jimat
agar tali tidak terlepas dan ramuan manjur membekas?

Sebagai istimewa dengan karunia
yang diberi sumber kehidupan atas nama kasih,
tali-temali pengikat terlupa dikubur.
Tali yang bisa mencambuk siapa saja yang
terlihat hendak mengambil bagianmu—padahal bukan begitu,
dengan suara-suara 
dan hentaman kata
dan rusaknya logika
dan hilangnya rasa.

Kini, ada yang menyanksi apakah
karunia dan kasih mampu sedikit mengendorkan tali
agar perlahan hilang 
luka-luka 
akibat tali yang kaulempar dari kuasamu.

Atau,
tali lain perlu ikut mengikat
pada karuniamu yang lain 
agar kaupaham 
betapa sungguh banyak nanar
dan nanah
dan bekas panah
akibat aturan dan pikiran yang kauramu
menjadikanmu yang paling tahu, mampu, dan buntu.

Atau,
ramuan beranak-pinak
hingga penuh di dalam istana
untuk yang seterusnya
dan seterusnya
dan seterusnya
hingga lebur dan tak tersisa.
Hancur.

(Image by Nugroho Wahyu on Pexels) Kutatap dalam-dalam cermin besar yang ada di depanku kini. Cermin ini sengaja kutaruh di sudut ruangan, k...

(Image by Nugroho Wahyu on Pexels)

Kutatap dalam-dalam cermin besar yang ada di depanku kini. Cermin ini sengaja kutaruh di sudut ruangan, kusembunyikan ia dari hiruk-pikuk beragam benda. Kuberikan porsi khusus sebagai yang teristimewa. Ia yang paling jujur berbicara, ia yang paling jujur mendengar, ia yang paling jujur memantulkan dan mendeksripsikan. 


Ada seorang perempuan kecil tengah berdiri menatapku juga di sana. Aku tersenyum. Ia juga tersenyum meski dengan raut wajah yang berantakan. Kami sama-sama tersenyum meski dengan beragam jenis tatapan yang sulit dideskripsikan. Nanar. Sendu. Sayu. Bahkan kosong. 


"Bagaimana kabarmu?" kutanya kalimat yang dianggap basa-basi oleh sebagian orang ini dengan sungguh-sungguh. Bagiku, ini menjadi pertanyaan sangat penting dan harus kulontarkan. Aku tak sabar mendengar jawabannya. 


"Baik dan tidak baik," ia kembali tersenyum dengan wajah pucat. Perempuan ini ingin mengabarkan dirinya sedang tidak baik, tetapi masih bisa ia lalui dengan baik, atau setidaknya, masih waras hingga hari ini. 


Tak butuh waktu lama, kami menitikkan air mata. Kantong mata yang makin besar dan hitam itu mungkin siap menjadi saksinya. Lama-lama, kami menangis hingga sesenggukan. Lama sekali. 

***

Pada yang setengah dari yang berjumlah 365,


Kudapati ia sedang terseok-seok berjalan di bulan April. Tubuhnya telah berlumuran darah. Ia pernah tertawan dengan banyak hunusan pedang. Punggungnya pun bahkan telah ditusuk dari orang yang tak terduga secara tiba-tiba hingga terjatuh dan tak bisa melawan.

 

April hingga Mei ia bertahan. Meski luka di sekujur tubuhnya belum kering dan masih menganga lebar, ia perlahan bisa berjalan pelan. Beragam obat dan resep telah ia coba. Bermacam rapalan doa selalu terlantun dari mulutnya. Kulihat ia masih bisa menaburkan banyak cinta dan harapan. Meski hatinya sempat terluka, ia masih dengan telaten memberikan perban. Hatinya masih mekar. Hatinya tidak layu. Kulihat ia sungguh-sungguh berjuang. Meski sendirian.

 

Aku terkejut pada waktu-waktu setelahnya. Pada Juni dan seterusnya, kulihat ia nyaris pingsan akibat menahan beragam sakit yang tak tertahan. Luka yang tak kunjung kering kembali ditebas oleh rangkaian kejadian pahit yang dialaminya. Darah makin deras mengalir. Berjalan pun ia tak sanggup. Ia terjatuh. Lagi. Kali ini lebih lama.


Dalam kondisi seperti ini, aku berlari menggapai tubuhnya segera, memeluk erat meski dengan hati-hati karena tubuh dan hatinya sedang sangat rapuh. Hatinya mulai layu dan mengering hingga pecah berkeping-keping. Kuelus-elus punggungnya yang pernah ditusuk itu. Kubelai ia, kukasihani ia, kusemangati ia. Walau sulit, aku memapahnya kembali berdiri untuk kembali belajar berjalan secara pelan-pelan sambil tertatih.

***

Pada yang seperempat dari yang berjumlah 100,

 

Aku melihatnya tumbuh dengan cepat dalam angka satu hingga dua puluh lima. Ia ditakdirkan lahir yang pertama sebelum yang lain. Ia yang mendapat kesempatan lebih dulu terbang mencari ilmu dan pengalaman, yang syukurnya, dapat dukungan dan kepercayaan penuh dari kedua mutiaranya.


Sejak kecil, ia sudah banyak dihadapkan oleh pilihan turunan. Beragam memori manis-pahit berputar dalam kepala. Ia juga ikut serta dalam fase-fase transisi kedua mutiaranya, fase jatuh-jatuh-jatuh berkali-kali. Fase terberani penuh konsekuensi yang dicontohkan langsung oleh kedua mutiaranya, sang figur terbaik dalam hidupnya. Ia banyak belajar. Sungguh ia banyak belajar. Tanpa sadar, sejak dulu ia telah dilatih untuk tahan banting menghadapi dunia.

 

Ia belajar untuk hidup sendiri sejak sekolah. Ia dipaksa oleh kehidupan untuk terus menggali banyak ilmu dan hikmah, berdiri di kaki sendiri, jatuh dan bangkit lagi. Tentu saja, selama dalam waktu dua puluh lima, kulihat ada banyak bekas luka padanya, tetapi ia cukup berhasil menyembuhkannya pelan-pelan. Kukatakan padanya, sekalipun luka kali ini adalah salah satu luka terperih dalam hidup, aku yakin ia akan mampu menerima dan mengobatinya perlahan meski tak ada waktu yang pasti hingga kapan pulih bisa ia dapati dengan penuh.


Kukatakan dengan sungguh-sungguh bahwa aku begitu bangga padanya. Aku tahu ia pernah mengalami banyak ketakutan dan kejadian traumatis, tetapi akhirnya bisa ia taklukkan hingga memberikan hasil yang baik. Kukatakan padanya bahwa aku begitu sayang, bahwa ada banyak sekali orang yang juga sayang dan berkenan memberikan doa-doa tulus mereka. Kuyakinkan hatinya bahwa doa dari mereka sungguh sangat membantunya dalam pemulihan. Aku menguatkannya bahwa kami masih punya Allah Sang Pemilik Kekuatan, Sang Penyembuh, yang Maha Pengasih dan Penyayang. 


Aku memeluknya lebih erat. 

Kami berangkulan.

Kami menangis lama untuk sabar dan syukur yang kami punya. 

Kami tersedu sedan.

Kami saling bergenggaman.

Lalu melangitkan doa

agar Dia senantiasa membalut hati kami dengan iman

agar Dia tetap menjadi tumpuan penuh harapan.


Hai Ikfi, aku mencintaimu. Sungguh. 

***

Ya Allah, tolong jadikan ini sebagai bentuk kasih sayang-Mu padaku, sebagai jalan terbaik mengajariku, sebagai jembatan penyelamat untukku. 

    

(image by Savanevich Victar on Canva Studio)   Rasanya, baru kali ini tertarik untuk menulis catatan satu tahun perjalanan. Saya tak memanda...

(image by Savanevich Victar on Canva Studio)
 

Rasanya, baru kali ini tertarik untuk menulis catatan satu tahun perjalanan. Saya tak memandang pergantian tahun sebagai sebuah perayaan seremonial, tetapi saya selalu melihat segala hal yang telah dialami dan dirasakan selama satu hari, satu bulan, hingga satu tahun ke belakang—dan kebetulan sekarang berada di penghujung tahun masehi (menjadi sebuah catatan peringatan juga bagi saya karena lebih hafal tahun masehi daripada hijriyah). Semuanya adalah apa-apa yang telah Allah takdirkan untuk saya syukuri dan pelajari.

Tahun ini adalah salah satu tahun penuh batu besar dengan arus sangat deras saat saya melakukan perjalanan. Saya seperti sedang mengarungi sungai; kadang dibuat terlena dengan arus air yang tenang, kadang dibuat waswas karena deras sungai yang begitu menegangkan dan membahayakan. Terlebih di sepanjang jalan, saya banyak menemukan batu-batu besar yang mampu merusak perahu saya, atau bahkan membuat saya tenggelam.

Tahun ini adalah tahun yang membuat saya akhirnya menceklis beberapa mimpi kecil yang saya tulis. Saya kembali dipertemukan dengan seorang musyrifah (yang saya temui tahun lalu) untuk memperdalam ilmu tahsin bersanad, saya juga dipertemukan dengan banyak orang dan diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmu yang saya dapatkan. Saya perlahan mulai mengerti tentang membaca Alquran yang baik dan benar setelah sebelumnya, saat SMA, saya menangis tersedu-sedu—dan menyalahkan diri sendiri—karena saya tak mampu membaca dengan benar—meski lancar. Tak mampu membaca sesuai ilmunya, pun sesuai yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.

Tahun ini, saya kembali bersemangat untuk menulis—meski secara beramai-ramai. Saya diberi kesempatan untuk menghimpun dan membaca pertama kali tulisan-tulisan keren, yang juga menghantarkan saya pada beberapa kesempatan berbagi pengalaman dan sedikit pengetahuan yang telah saya dapatkan.

Tahun ini, saya mampu melewati sidang proposal penelitian. Kala itu saat menyusun proposal, saya begitu semangat menggebu-gebu. Terasa nikmat saat menyusun karya ilmiah buah pikiran sendiri, saat menemukan dan memecahkan sesuatu sebagai hasil rasa penasaran saya, dan saat melahap beragam referensi buku dan jurnal. Begitu bahagia—meski letih dan lelah—menyusun proposal sebagai bentuk implementasi dari ilmu yang telah saya dapatkan selama di kampus. Saat itu, saya begitu idealis dan optimis.

Tahun ini, saya perlahan dapat membuka tabir tentang pertanyaan dan perjalanan hati. Sekian lama saya menanti, akhirnya Allah bukakan satu pintu sebelum masuk pintu yang lain. Allah beri kunci yang harus saya jaga untuk kemudian bersama membuka pintu yang lain. Saya bahagia. Tentu.

Namun, semua kebahagiaan yang saya dapatkan, juga diberi sepaket berupa kesedihan. Ketika saya merasakan kenikmatan menyusun proposal, saya juga harus sangat bersabar dan kuat melawan trauma saya—yang saat SMA dulu pernah saya rasakan. Takdir dan putusan—yang tentu diberikan oleh Allah—tak hanya membuat saya berjuang menyusun skripsi, tetapi juga berjuang melawan rasa trauma bersifat personal yang sebelumnya tak terduga akan saya alami kembali. Saya takut. Saya menangis tak henti-henti. Semua bayangan buruk yang pernah saya alami kembali terngiang dan sempat terjadi beberapa kali dalam waktu yang belum lama. Saya bingung. Saya ketakutan, tetapi sulit menceritakan kepada orang. Hingga akhirnya, skripsi yang sedang saya susun tak semulus yang saya harapkan. Di saat yang lain sudah berlari, saya masih tertatih-tatih berjalan.

Di perjalanan yang lain, saya kira, pertanyaan dan perjalanan hati saya sudah terjawab dengan tepat. Namun, Allah tangguhkan semua rencana dan harapan yang telah disusun dan dieja dari satu hingga seribu. Saya masih sulit mencari pintu selanjutnya, meski kunci telah saya genggam. Batu besar yang menghalangi dan arus yang begitu deras menjadikan saya cukup kewalahan menjaga kunci dengan baik, terlebih begitu sulitnya pintu yang harus saya temukan.

Di pertengahan jalan, saya harus fokus memperbaiki perahu yang rusak agar saya tidak tenggelam. Saya harus memilih cabang arus sungai ke jalan yang berbeda dari jalan yang direncanakan. Saya harus lebih siaga kalau-kalau kelak bertambah pula rintangan yang menghadang.

Meski bahagia dan sedih adalah respons subjektif perasaan seseorang, saya menjadi belajar untuk bisa menghargai perasaan sendiri. Ketika saya bahagia, saya tak boleh terlena karena arus tak selamanya tenang. Ketika saya merasa sedih, takut, hingga sakit, saya harus sadar bahwa perasaan itu akan menguatkan saya jika saya sikapi dengan baik dan membuat saya lebih siaga melawan rintangan di depan. Meski semua yang terjadi mengharuskan saya kembali menata ulang harapan, rencana, dan jalan yang saya tempuh, saya harus yakin bahwa semua sudah diatur Allah dengan sangat baik dan akan menjadi baik. Meski, saya sedang berhati-hati sekali untuk bermimpi, meski saya dilanda bingung hendak ke mana arah melangkah, saya harus yakin bahwa saya tak pernah sendiri. Allah selalu membantu menerangi jalan, menolong dan menjaga saya di kala arus tenang maupun deras, pun mendengar semua harapan, kesedihan, dan ketakutan.

Jadi, mari mulai kembali, Ikfi.


(Akhir 2019)

(image by Mohanraj Suvarna on Canva Studio) Perjalanan  seorang insan dalam mengarungi bahtera kehidupan menjadi sebuah kepastian bagi siapa...

(image by Mohanraj Suvarna on Canva Studio)

Perjalanan seorang insan dalam mengarungi bahtera kehidupan menjadi sebuah kepastian bagi siapa pun yang Allah izinkan hidup. Bahkan, perjalanan dirinya tak hanya berhenti hingga dunia, namun akan terus berlanjut pada kehidupan setelahnya—akhirat.


Saya menyukai travelling. Saya suka jalan-jalan. Saya menghargai setiap perjalanan, baik jarak dekat ataupun jauh. Saya menikmati setiap perjalanan, baik sendiri maupun ditemani. Perjalanan (baik jalan kaki, naik motor, mobil, pesawat, kereta api, ataupun kapal laut) adalah sebuah bentuk aplikasi tauhid. Di dalam prosesnya, ada ujian keimanan yang Allah berikan.

Di banyak perjalanan, qadarullah saya harus pergi sendiri. Kondisinya tidak memungkinkan ditemani oleh siapa pun (tentu orang-orang yang merantau seberang pulau paham betul, kan? Bukan hanya seberang pulau, banyak teman-teman yang bepergian lintas kota ketika pulang dari perantauan ke rumahnya masing-masing, juga sendiri). Ketika kondisinya mengharuskan sendiri, serahkan perjalanan yang akan kita tempuh pada Allah. Ini poin pertama dari tauhid. Berserah hanya pada Allah.

Tentu, ada banyak harapan dari sebuah perjalanan. Ketenteraman, kenyamanan, keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan—yang bermuara pada permintaan perlindungan dan pertolongan. Lalu, pada siapa kita meminta selain kepada-Nya? Tentu, tidak ada satu pun tempat bergantung selain kepada Allah. Inilah poin kedua dari aplikasi tauhid.

Persiapan sebelum perjalanan, mengemas barang, menyiapkan badan untuk tetap sehat, menyiapkan dana, hingga melihat tujuan, jarak tempuh, dan perencanaan transportasi adalah hal lumrah yang banyak dilakukan. Namun, satu bekal yang patut dibawa dan dijaga selama perjalanan adalah takwa—melaksanakan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Dengan takwa, Allah menjaga kita dari gangguan dan marabahaya. Dengan takwa, kita tidak melupakan adab di setiap kesempatan. Dengan takwa pula, Allah yang menjadikan perjalanan kita sarat akan kebaikan dan keberkahan.

 

Kemarin, kini hingga nanti, tiap-tiap diri kita adalah musafir. Pergi dan berhenti pada perjalanan sendiri-sendiri. Mulai dan berakhir pada waktu sendiri-sendiri.

Semoga kita selamat dalam perjalanan, juga selamat pada akhir perjalanan kita.

(image by monicore on Canva Studio) Untukmu yang tengah berada di persimpangan dan belum juga memulai (kembali) perjalanan. Sayang, ada bany...

(image by monicore on Canva Studio)

Untukmu yang tengah berada di persimpangan dan belum juga memulai (kembali) perjalanan.

Sayang, ada banyak hal yang kamu temui dalam hidup. Orang-orang, jalanan, bangunan, binatang, pohon-pohon, hingga kejadian-kejadian. Seluruhnya adalah takdir yang telah digariskan untukmu. Allah telah mengizinkan kamu dan mereka bertemu.

Sayang, tak semua perjuanganmu berjalan lancar tanpa aral. Kamu tidak hanya belajar dari dirimu sendiri, melainkan kamu bisa belajar dari semua orang di sekelilingmu. Tanggalkan ego, lupakan gengsi. Kamu berhak memiliki hati yang baik untuk menyerap semua pembelajaran hari ini, kemarin, esok, dan seterusnya. Kamu berhak memiliki hati yang bening untuk lolos ujian hidup. Ingatlah Sayang, Allah menunggu usahamu.

Sayang, di antara semua dugaan yang kamu pikir dan cermati dalam-dalam, tak semua menjadi baik untukmu. Hilangkan praduga buruk yang akan membawamu jatuh semakin dalam. Undanglah semua hal baik dalam hidupmu; pikiranmu, lisanmu, dugamu, hatimu. Ingatlah Sayang, tak ada nasib buruk dalam hidup jika kamu terima dengan baik sebagai bukti imanmu terhadap takdir.

Aku tahu, percaya pada manusia tak sedikit menimbulkan kecewa. Tapi bukankah Allah telah mempercayakan jiwa seorang kamu dalam ragamu? Tak bosan kuingatkan ini padamu. Jadi, mohon dijaga baik-baik ya.


Tertanda,
Aku yang juga dirimu

(image by Daria Shetsova on Canva Studio) Aku mencintaiku. Aku mencintaiku adalah aku yang akan memikirkan dan mengupayakan semua kebaikan d...

(image by Daria Shetsova on Canva Studio)

Aku mencintaiku.

Aku mencintaiku adalah aku yang akan memikirkan dan mengupayakan semua kebaikan dan keberkahan menujuku.

Aku mencintaiku adalah aku yang akan merawat kesehatanku dan ‘kewarasanku’ dengan memaksimalkan semua potensi yg telah Allah berikan padaku.

Aku mencintaiku adalah aku yang akan merawat diriku dari segala ancaman penyakit hati.

Aku mencintaiku adalah aku yang berupaya menjadi hamba yang Allah mau.

Wahai aku, jalan hidupku adalah jalan terbaik yang telah Allah sediakan. Orang di sekelilingku adalah orang-orang pilihan-Nya yang telah Allah berikan.

Tak semua yang mereka ucapkan adalah baik untukku; ambillah semua yang baik untukku, lupakan semua yang buruk bagiku.

Tak semua jalan akan mulus dan lurus; lewatilah jalanku dgn baik dan mintalah pertolongan hanya pada satu: Allah.

Diriku hari ini adalah hasil perjuanganku hari-hari yang lalu. Maka selamat! Allah telah membantuku menyelesaikan satu demi satu rintangan pada waktu yang lalu.

Aku menghargai semua usahaku hingga saat ini. Belum maksimal? Tidak mengapa. Mari kita coba lagi.

Percayalah wahai aku, Allah telah menitipkan amanah jiwa dan ragaku untuk menjadi seorang ‘aku’. Jangan sia-siakan hidupku di dunia untuk hidup selamanya di akhirat, ya.

Selamat mencintai diri sendiri!

Menuju-Mu, Yang kutahu, menuju-Mu adalah satu Dari satu, dan selamanya satu Sang Maha Satu pemilik kerajaan semesta. Menuju-Mu, Jalan menuju...



Menuju-Mu,

Yang kutahu, menuju-Mu adalah satu
Dari satu, dan selamanya satu
Sang Maha Satu pemilik kerajaan semesta.
Menuju-Mu,
Jalan menuju-Mu penuh cabang
Dan ambigu
Di persimpangan,
Aku malu dan mengadu

Aku terlalu sibuk, Tuhan.

Sibukku tak cukup menempuh jalan-Mu
Keringat dustaku habis dilahap mangsa dunia
Waktuku mencampakkan jalan yang sedia

Aku terlalu sibuk, Tuhan.

Di persimpangan,
Aku malu dan mengadu
Engkau tak bosan menyambut
Makhluk nista penuh dosa
Rahman-Mu meluas samudera,
Membasuh noda, menerbit doa

Aku mencintai-Mu,
Namun aku tidak menjaga perasaan-Mu.
Aku lupa, aku sibuk,
Aku lalai.
Aku mencintai-Mu.
Jalan manakah,
Menuju-Mu?


(Pekanbaru, 25 Januari 2016)