(image by Rubenstein Rebello on Canva Studio) |
Akhir-akhir ini, jagat media sosial diriuhkan dengan kabar kabut asap di bumi Lancang Kuning, Melayu Riau. Kualitas udara di Provinsi Riau telah dinyatakan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) berada di level tidak sehat hingga bahaya. Seluruh masyarakat mendadak memakai masker demi terjaga dari menghirup udara berbahaya—meski hal itu hanya meminimalisasi akibat. Jarak pandang pun semakin menurun. Apakah semua hal ini merupakan kasus baru? Tentu saja tidak!
Saya begitu ingat ketika tahun 2014 lalu, keluarga saya di Pekanbaru mengabarkan kondisi udara yang mengejutkan. Asap begitu pekat menyelimuti kota, udara begitu sesak dan perih di mata. Saat itu, seluruh siswa sekolah diliburkan hingga hampir dua bulan lamanya. Berita yang sedang ramai diperbincangkan saat ini, bukanlah baru saja terjadi lagi di Provinsi Riau. Pada tahun-tahun sebelumnya, kabut asap masih ‘bermain’ meski tak begitu nakal mengganggu kehidupan warga.
Hampir seminggu yang lalu, mama memberi kabar kualitas udara di Riau mulai memburuk dan asap mulai kembali datang. Secara berkala, saya cek kondisi udara melalui aplikasi air visual yang menunjukkan angka 300-400 bermakna sangat tidak sehat hingga berbahaya. Kian hari, kualitas udara semakin memburuk hingga menembus angka 500! Sangat mengkhawatirkan. Akhirnya pada tanggal 9 September lalu, Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Riau mulai menginstruksikan kepada seluruh kepala sekolah untuk meliburkan siswanya.
Saya begitu geram dan sedih mengetahui kabar buruk ini. Kemarin, saat banyak daerah di Pulau Jawa yang mengalami mati listrik seharian dan saat kualitas udara di Jakarta masuk dalam level ‘tidak sehat’, masyarakat Indonesia dan media massa berbondong-bondong menggiring kabar hingga masuk dalam trending topic yang paling hangat dibicarakan. Namun, hari pertama saat saya mulai mengetahui kondisi udara di Provinsi Riau, hanya ada satu-dua media daring yang memberitakan kabar ini. Padahal saat itu, saya sedang berusaha mencari kabar terkait respons pemerintah menanggapi kasus kabut asap. Namun hasilnya? Nihil. Kabar kabut asap yang terjadi di Riau (dan Kalimantan) baru hangat diperbincangkan dua hari yang lalu, itu pun diperkuat dengan aksi demo mahasiswa Riau—yang mungkin menjadi lebih menarik saat dikabarkan terdapat dua mahasiswa yang pingsan saat demo di tengah kabut asap. Kemarin, muncul pula petisi yang ditujukan kepada Presiden, Menteri Kementrian Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Pertanian, Menteri Kesehatan, dan Gubernur Riau. Petisi tersebut menuntut empat poin terkait kasus kabut asap yang terjadi di Riau.
Ada hal yang membuat kami bertambah sedih. Pemberitaan kabut asap mulai tenggelam diberitakan oleh para media daring. Nampaknya, kasus KPK jauh lebih hangat, renyah, dan keren dibicarakan. Saat gubernur Riau dikabarkan justru pergi ke Thailand, presiden Indonesia pun terlihat belum banyak angkat bicara terkait solusi yang ditawarkan. Atau, apakah media yang memang begitu fokus menayangkan kesibukan pemerintah negara terkait revisi Undang-Undang KPK atau terkait KPK yang ganti pimpinan? Bagaimana kabar masyarakat yang terkena dampak darurat asap, apakah harus menunggu lebih banyak korban?
Selama kurun waktu tahun 2019 (Januari-September), sebanyak 281.626 warga terkena Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) berdasarkan data yang diambil oleh Dinas Kesehatan Riau. Tentu, tak mustahil akan menambah lebih banyak korban karena Riau disebutkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi daerah dengan kebakaran gambut terbesar pada tahun ini. Tak tanggung-tanggung, lahan gambut yang terbakar (dan dibakar) mencapai 40 ribu hektare. Ditambah sedang musim kemarau panjang, akan sangat sulit memadamkan titik api yang begitu luas. Terlebih, kebakaran hutan yang terjadi di lahan lambut memiliki karakteristik yang berbeda dari kebakaran hutan di lahan kering. Meski api dipadamkan dan tanah bagian atas sudah kering, bagian bawah lahan gambut tersebut relatif masih basah dan lembap. Jika terjadi kebakaran hutan, kobaran api tersebut akan bercampur dengan uap air di dalam gambut dan menghasilkan asap yang sangat banyak (Adinugroho dkk. dalam Pinem, 2016: 142).
Kabut asap terjadi tentu karena ada pembakaran lahan besar-besaran. Merujuk pada tagar yang digaungkan oleh masyarakat Riau, #RiauDibakarBukanTerbakar semestinya menjadi bahan evaluasi bagi seluruh jajaran aparatur negara. Aparatur negara memang perlu lebih ‘galak’ dengan para korporasi pemilik lahan dan lebih tegas memberlakukan hukum.
Jika saja ibu pertiwi mampu menunjukkan tangisnya, kini ia tengah merintih sakit dan menangis lirih terhadap semua keserakahan manusianya. Jika saja ibu pertiwi mampu bersuara, dengan sedih ia tentu berkata, “Riauku tersayang, Riauku yang malang. Bahasa indukku berasal dari daerahmu. Tempatmu menjadi pusat perkembangan budaya dan sastra Melayu. Kota bertuah, kini berisi asap penuh melimpah. Semoga yang sesak dan pekat berganti segera menjadi sehat dan kuat.”
Semoga, perlahan Allah bereskan semua masalah dalam negeri, menjadi negeri berdikari yang diberkahi, aman, lagi tenteram.
(Ditulis Sabtu, 14 September 2019)
___________________________
Referensi:
Pinem, Tanda. 2016. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut: Kajian Teologi Ekofeminisme. Gema Teologika Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian. 1. 139. 10.21460/gema.2016.12.219.
Petisi https://www.change.org/p/gubernur-riau-jokowi-tunaikan-janji-mu-untuk-hentikan-asap-di-riau
http://riaupos.co/208352-berita-sudah-281626-warga-riau-terkena-ispa.html
0 comments: