(image by DimaBerkut on Canva Studio) |
Menjadi seorang putri sulung dari ketiga bersaudara cukup membuat beban bagi saya. Sebenarnya lebih tepatnya, Allah telah mempercayai amanah berat tersebut untuk saya sebagai contoh dari dua adik saya. Anak sulung adalah harapan pertama dari sepasang hamba-Nya yang Allah takdirkan bersatu dengan janji suci ikatan pernikahan. Anak sulung adalah buah kasih yang paling ditunggu kehadiran dua insan. Anak sulung adalah anak yang ditakdirkan lebih dahulu lahir dari adik yang lahir setelahnya.
Hakikatnya, semua anak memiliki hak dan kewajiban yang sama. Mereka memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam sebuah keluarga. Pun sama halnya dengan anak kedua, ketiga, keempat, hingga anak bungsu. Mereka adalah mutiara yang Allah berikan kepada orang tua sebagai amanah, juga mereka memiliki amanah yang dipikul sama dari kedua orang tuanya.
Sejak kecil, ayah selalu mendukung dan membimbing anak-anaknya untuk bersungguh-sungguh mencari ilmu di sekolah. Prestasi-prestasi yang didapatkan dari anak-anaknya tidak lepas dari kesabaran dan keuletan sang ayah dalam membimbing dan ikut mengajarkan materi-materi khusus dalam perlombaan. Sang mama, memiliki peran penting sebagai penenang, peneduh, dan penyemangat anak-anaknya. Ketentraman yang dimiliki seorang ibu dan motivasi kuat yang ditanamkan oleh seorang ayah mampu membuat anak-anaknya mendapatkan dua hak yang seimbang dari kedua orang tuanya; tidak hanya pemenuhan kebutuhan materi, tapi juga pemenuhan kebutuhan batin.
Satu hal yang paling diingat sebagai motivasi terkuat hingga saat ini adalah tentang pemaknaan seorang Ikfi Nursyifa Arridla yang telah diberikan dengan penuh suka cita oleh kedua orang tua saya. Sejak saya TK (atau mungkin sebelum TK), ayah sudah memberi tahu arti tiap-tiap kata dari nama saya yang secara garis besar adalah sebuah doa agar Allah cukupkan saya dengan cahaya obat/syafa’at yang Alah ridai (baik untuk di dunia, maupun kelak di akhirat). Saat itu, ayah dengan nada penuh harap berkata, “Kamu itu Syifa. Jadilah obat hati untuk kedua orangtuamu.” Ayah juga pernah menambahkan, katanya, “Kamu adalah anak pertama yang diharapkan oleh ayah dan mama dan saat itu kamu menjadi pelipur lara kami. Tetaplah menjadi pelipur lara, penenang hati kami meski kamu sudah besar.” Sungguh, ucapannya berhasil terngiang-ngiang dalam kepala dan menjadi cambuk otomatis yang tiba-tiba hadir saat saya jatuh dan putus asa dalam perjalanan menuntut ilmu serta menjalani lika-liku jalan kehidupan. Sama halnya dengan sang ayah, seorang mama juga menaruh harapan bagi putri sulungnya ini. Meski ia tak mampu berkata-kata bijak seperti ayah, sentuhan lembut dan kasih sayangnya mampu menjangkau hati sang anak dan memeluk erat dengan doa yang begitu kuat. Satu hal yang cukup unik dari cerita mama saat mengandung saya dulu adalah ia sempat melihat seorang anak perempuan yang tampil di sebuah acara televisi dengan membawakan sebuah puisi yang begitu indah. Kata mama, anak perempuan tersebut bernama Syifa. Dari sana, mama ingin memiliki anak yang sepandai Syifa dalam membacakan sebuah puisi—dan qadarullah saat SD pernah beberapa kali menjuarai lomba baca puisi, dan saat ini saya dihantarkan oleh Allah ke sebuah perguruan tinggi untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu sastra.
Saya begitu dekat dengan mama yang selalu menjadi tempat berbagi dalam banyak hal. Saya juga dekat dengan ayah dan selalu menjadi tempat diskusi banyak hal. Kami selalu bertukar pikiran dan perasaan–terlebih ketika saya mulai beranjak dewasa. Dalam sebuah diskusi keluarga saat saya masih kelas 3 SMP, timbul satu keinginan kedua orang tua untuk putri sulungnya: melanjutkan sekolah di Jawa Barat. Saat itu, atas izin Allah kami tinggal di Pekanbaru (meski berdarah Sunda) karena pekerjaan orang tua. Pada saat keinginan itu terucap, saya sempat berpikir banyak hal hingga akhirnya menyetujui keinginan mereka.
Tidak ada maksud buruk sedikit pun yang terlintas dari pikiran dan hati orang tua saat anaknya dikirimkan jauh menuntut ilmu dari jarak tinggal mereka. Saat itu, tidak ada yang terlintas dalam benak saya selain berbakti kepada orang tua dengan menuntut ilmu sekalipun harus jauh menyebrangi lautan melintasi banyak provinsi; terpisah di antara dua pulau. Setingkat usia kelas 3 SMP yang saat itu masih terbilang polos, saya memberanikan diri (atau nekad) terbang ke Jawa Barat sendirian. Saat itu, saya belum memiliki tujuan khusus akan sekolah SMA di mana (karena hasil tes di salah satu MA (Madrasah Aliyah) favorit se-Indonesia belum keluar). Dengan bermodal yakin dan pasrah, saya pergi ke tanah kelahiran dan tinggal sementara di rumah nenek. Lika-liku perjuangan mencari Sekolah Menengah Atas begitu sulit, terlebih saat saya dinyatakan tidak lulus pada hasil tes di salah satu MA favorit itu. Beberapa pesantren yang saya kunjungi juga tidak berhasil menjadi pilihan dan takdir untuk saya. Saat itu, saya pasrah. Saya ikhlaskan dan kembalikan semuanya pada Allah, saya atur ulang niat saya dengan harapan penuh bahwa saya akan mendapatkan banyak hikmah belajar di daerah ini. Qadarullah, saya akhirnya berjodoh dengan salah satu Madrasah Aliyah yang ternyata jaraknya tidak begitu jauh dari rumah nenek. Perjalanan dimulai. Petualangan dimulai. Hidup jauh dari orang tua dimulai. Manis-pahit kehidupan dimulai dengan beragam ujian dan tantangan yang menuntut saya mampu menyelesaikannya sendiri (tentu dengan melibatkan Allah). Saat itu, saya banyak menyelami lautan hikmah, termasuk tentang proses hijrah mengenal Allah lebih dekat (dari mulai pakaian, pemahaman, hingga ilmu keagamaan). Di sana, Allah kirimkan orang-orang yang sangat luar biasa sebagai perantara mengenali-Nya. Allah kirimkan orang-orang sebagai penguat, penasihat, dan pengingat di jalan-Nya. Hingga pada suatu waktu, saya menangis lirih -merindukan kedua orang tua- dan ingat perjuangan mereka. Terlebih saat itu, saya merekam jelas eskpresi seorang ibu saat melepaskan putri sulungnya pertama kali, jauh dari dekapannya…
Ma, aku tahu bahwa melepaskan putri sulung jauh darimu beribu-ribu kilometer adalah hal berat dalam hidupmu.
Aku ingat empat tahun lalu pukul empat dini hari, seorang bidadari berdiri tegar di depan pintu rumah dengan pipi basah dan mata berkaca-kaca. Mengecup, memeluk, dan mendoakan kebaikan anaknya.
Ma, aku tahu bahwa ketika putri sulungmu melangkah keluar pagar rumah untuk pergi, hatimu berteriak ingin menahan. Namun keyakinanmu yang penuh bahwa Allah Sang Maha Penjaga mengalahkan ego dan perasaanmu. Menitipkan putri sulungmu pada Allah dengan sebaik-baik penjagaan. Lalu aku melihat senyummu, tegarmu, dan ikhlasmu.
Ma, aku bisa merasakan doa-doa panjang yang selalu terlafal dari riak tangismu. Aku bisa mendengar betapa syahdunya doamu bergetar menembus langit. Kebaikan-kebaikan yang Allah berikan pada putri sulungmu tidak terlepas dari doa-doa tulusmu.
Ma, rida Allah sangat tergantung dari ridamu. Ada surga dalam dirimu, ada rumah dalam pundakmu, ada hangat dalam pelukmu, ada harapan dalam matamu. Mama, semestanya rindu.
Semoga Allah senantiasa menjagamu, memberkahi hidupmu.
Suka-duka dalam menjalani kehidupan—terlebih menuntut ilmu—membuat saya bersabar dan bersyukur. Bagi saya, perjuangan ini menjadi jalan bakti saya untuk kedua orang tua saya. Menuntut ilmu agar Allah berikan ilmu yang bermanfaat, menuntut ilmu agar Allah sematkan hidayah pada hati saya untuk menjadi hamba kecintaan-Nya, menuntut ilmu untuk meraih rida kedua orang tua saya, menuntut ilmu untuk mengangkat derajat kedua orang tua saya, menuntut ilmu untuk menjadi manusia bermanfaat, namun yang paling penting dari semua hal tersebut adalah menuntut ilmu karena perintah Allah; menyelami ilmu-ilmu Allah untuk meraih hakikat ilmu yang sesungguhnya, yakni mengenal Allah lebih dekat.
Dari perjalanan belajar ini, saya perlahan mulai memahami lebih dalam tentang pondasi utama seorang insan yakni iman dan Quran. Berbakti kepadamu wahai ayah dan mama, adalah tentang kesyukuran saya selaku anakmu atas hasil didik dan ridamu. Adalah tentang kesyukuran pada anugerah terindah yang Allah berikan berupa dirimu yang begitu sabar menjaga amanah-Nya. Maka izinkanlah saya beserta anak-anakmu yang lain untuk bisa memberikan hadiah terindah di akhirat kelak atas hasil iman dan kedekatan Quran yang tak lepas dari lantunan doa dan ridamu. Semoga Allah membantu kami..
Menghidupkan mimpi yang kian mendekat dan didekatkan. Aku melihat dua pasang mata yang ikut tersenyum dan menangis. Di sela air matanya yang jatuh, aku mendengar dengan telingaku yang sering tuli, ada bait-bait doa yang melangit meski raganya sujud menyentuh bumi. Tuhan.. tegakkanlah raganya hingga waktu kian menggerus sisa umur yang tersedia. Aku masih ingin melihat dua pasang mata itu tetap dan terus tersenyum, berkali-kali, bahkan selamanya.
Di kerumitan jalan dengan mataku yang sering buta, aku melihat ada dua insan yang berpayah-payah mempertahankan, memperbaiki jalan kehidupan. Menjagaku dengan sebenar-benar penjagaan, meski jarak antara raga kami berjauhan.
Dengan mulutku yang sering bisu, ada maaf dan terima kasih yang tak kunjung selesai terucapkan lewat doa yang disemogakan.
Maafkan atas ketulian, kebutaan, dan kebisuanku, tapi percayalah, ada hati yang selalu kurawat dan kuperbaiki setiap hari, langsung kepada Yang Menciptakan—dengan mimpi, harapan, prasangka baik, dan ayat-ayat-Nya. Menyiram, menghidupkan.
Semoga Allah senantiasa menghidupkan dan membersihkan hatiku, juga pemilik dua pasang mata yang indah itu,
Ikhlasmu, relamu, doamu, dan ridamu adalah bekal bagiku. Agar Allah pun rida..
Dan semoga dapat selalu menjadi penyejuk mata dan hatimu dari seorang aku. Seorang nama yang engkau beri dengan “obat” dan “rida”. Sehat terus, Ayah dan Mama.
Anakmu,
Ikfi Nursyifa Arridla.
(ditulis tahun 2017)
0 comments: