(Image by Pixelci on Canva Studio) Ini bermula dari sebuah akun anonim (bukan fufufafa, bukan pula Chilli Pari), yang mengirim beberapa sura...
Kegagalan Adalah Kesuksesan yang Tertunda, Emang Iya?
(Image by Stephane Bidouze on Canva Studio) Segumpal yang menjadi karunia dengan bilangan kedua telah ditiupkan. Yang pertama tlah hilang, m...
Pernyataan-Pertanyaan Ter, Mau, Ku, dan Asa
(image by Mihailo Karanovic on Getty Images) Beberapa bulan lalu, begitu ramai orang membuat (dan mengunggah ulang) video di media sosial de...
Tentang yang Pernah Ramai: Telat Inilah, Telat Itulah, Mari Kita Mulai Masa Remaja di Usia Sekian Tahun
(image by Mihailo Karanovic on Getty Images) |
Beberapa bulan lalu, begitu ramai orang membuat (dan mengunggah ulang) video di media sosial dengan satu konten yang sama. Kalimatnya rata-rata serupa: "Telat inilah, telat itulah, mari kita mulai masa remaja di usia 30 tahun," untuk orang yang sudah masuk di kepala tiga. Atau diganti dengan "di usia 25 tahun" untuk orang yang sudah masuk usia seperempat abad. Dan sebagainya, dan sebagainya.
(image by bizoo_n on Canva Studio) Pelayaran selanjutnya dimulai. Perjalanan kali ini rasanya terasa lebih lama. Dan lagi, mereka berdua aka...
Perahu Kecil yang Ringkih (2)
(image by bizoo_n on Canva Studio) |
(Image by Nugroho Wahyu on Pexels) Kutatap dalam-dalam cermin besar yang ada di depanku kini. Cermin ini sengaja kutaruh di sudut ruangan, k...
Becermin pada Setengah dan Seperempat
(Image by Nugroho Wahyu on Pexels) |
Kutatap dalam-dalam cermin besar yang ada di depanku kini. Cermin ini sengaja kutaruh di sudut ruangan, kusembunyikan ia dari hiruk-pikuk beragam benda. Kuberikan porsi khusus sebagai yang teristimewa. Ia yang paling jujur berbicara, ia yang paling jujur mendengar, ia yang paling jujur memantulkan dan mendeksripsikan.
Ada seorang perempuan kecil tengah berdiri menatapku juga di sana. Aku tersenyum. Ia juga tersenyum meski dengan raut wajah yang berantakan. Kami sama-sama tersenyum meski dengan beragam jenis tatapan yang sulit dideskripsikan. Nanar. Sendu. Sayu. Bahkan kosong.
"Bagaimana kabarmu?" kutanya kalimat yang dianggap basa-basi oleh sebagian orang ini dengan sungguh-sungguh. Bagiku, ini menjadi pertanyaan sangat penting dan harus kulontarkan. Aku tak sabar mendengar jawabannya.
"Baik dan tidak baik," ia kembali tersenyum dengan wajah pucat. Perempuan ini ingin mengabarkan dirinya sedang tidak baik, tetapi masih bisa ia lalui dengan baik, atau setidaknya, masih waras hingga hari ini.
Tak butuh waktu lama, kami menitikkan air mata. Kantong mata yang makin besar dan hitam itu mungkin siap menjadi saksinya. Lama-lama, kami menangis hingga sesenggukan. Lama sekali.
***
Pada yang setengah dari yang berjumlah 365,
Kudapati ia sedang terseok-seok berjalan di bulan April. Tubuhnya telah berlumuran darah. Ia pernah tertawan dengan banyak hunusan pedang. Punggungnya pun bahkan telah ditusuk dari orang yang tak terduga secara tiba-tiba hingga terjatuh dan tak bisa melawan.
April hingga Mei ia bertahan. Meski luka di sekujur tubuhnya belum kering dan masih menganga lebar, ia perlahan bisa berjalan pelan. Beragam obat dan resep telah ia coba. Bermacam rapalan doa selalu terlantun dari mulutnya. Kulihat ia masih bisa menaburkan banyak cinta dan harapan. Meski hatinya sempat terluka, ia masih dengan telaten memberikan perban. Hatinya masih mekar. Hatinya tidak layu. Kulihat ia sungguh-sungguh berjuang. Meski sendirian.
Aku terkejut pada waktu-waktu setelahnya. Pada Juni dan seterusnya, kulihat ia nyaris pingsan akibat menahan beragam sakit yang tak tertahan. Luka yang tak kunjung kering kembali ditebas oleh rangkaian kejadian pahit yang dialaminya. Darah makin deras mengalir. Berjalan pun ia tak sanggup. Ia terjatuh. Lagi. Kali ini lebih lama.
Dalam kondisi seperti ini, aku berlari menggapai tubuhnya segera, memeluk erat meski dengan hati-hati karena tubuh dan hatinya sedang sangat rapuh. Hatinya mulai layu dan mengering hingga pecah berkeping-keping. Kuelus-elus punggungnya yang pernah ditusuk itu. Kubelai ia, kukasihani ia, kusemangati ia. Walau sulit, aku memapahnya kembali berdiri untuk kembali belajar berjalan secara pelan-pelan sambil tertatih.
***
Pada yang seperempat dari yang berjumlah 100,
Aku melihatnya tumbuh dengan cepat dalam angka satu hingga dua puluh lima. Ia ditakdirkan lahir yang pertama sebelum yang lain. Ia yang mendapat kesempatan lebih dulu terbang mencari ilmu dan pengalaman, yang syukurnya, dapat dukungan dan kepercayaan penuh dari kedua mutiaranya.
Sejak kecil, ia sudah banyak dihadapkan oleh pilihan turunan. Beragam memori manis-pahit berputar dalam kepala. Ia juga ikut serta dalam fase-fase transisi kedua mutiaranya, fase jatuh-jatuh-jatuh berkali-kali. Fase terberani penuh konsekuensi yang dicontohkan langsung oleh kedua mutiaranya, sang figur terbaik dalam hidupnya. Ia banyak belajar. Sungguh ia banyak belajar. Tanpa sadar, sejak dulu ia telah dilatih untuk tahan banting menghadapi dunia.
Ia belajar untuk hidup sendiri sejak sekolah. Ia dipaksa oleh kehidupan untuk terus menggali banyak ilmu dan hikmah, berdiri di kaki sendiri, jatuh dan bangkit lagi. Tentu saja, selama dalam waktu dua puluh lima, kulihat ada banyak bekas luka padanya, tetapi ia cukup berhasil menyembuhkannya pelan-pelan. Kukatakan padanya, sekalipun luka kali ini adalah salah satu luka terperih dalam hidup, aku yakin ia akan mampu menerima dan mengobatinya perlahan meski tak ada waktu yang pasti hingga kapan pulih bisa ia dapati dengan penuh.
Kukatakan dengan sungguh-sungguh bahwa aku begitu bangga padanya. Aku tahu ia pernah mengalami banyak ketakutan dan kejadian traumatis, tetapi akhirnya bisa ia taklukkan hingga memberikan hasil yang baik. Kukatakan padanya bahwa aku begitu sayang, bahwa ada banyak sekali orang yang juga sayang dan berkenan memberikan doa-doa tulus mereka. Kuyakinkan hatinya bahwa doa dari mereka sungguh sangat membantunya dalam pemulihan. Aku menguatkannya bahwa kami masih punya Allah Sang Pemilik Kekuatan, Sang Penyembuh, yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Aku memeluknya lebih erat.
Kami berangkulan.
Kami menangis lama untuk sabar dan syukur yang kami punya.
Kami tersedu sedan.
Kami saling bergenggaman.
Lalu melangitkan doa
agar Dia senantiasa membalut hati kami dengan iman
agar Dia tetap menjadi tumpuan penuh harapan.
Hai Ikfi, aku mencintaimu. Sungguh.
***
Ya Allah, tolong jadikan ini sebagai bentuk kasih sayang-Mu padaku, sebagai jalan terbaik mengajariku, sebagai jembatan penyelamat untukku.
(image by Sahid Sultan on Canva Studio) Sabtu lalu, aku ke psikolog. Tepat kurang lebih satu bulan setelah kejadian. Aku butuh pandangan b...
Jurnal Perayaan (1)
(image by Sahid Sultan on Canva Studio) |
Sabtu lalu, aku ke psikolog. Tepat kurang lebih satu bulan setelah kejadian. Aku butuh pandangan baru, nasihat baru, dan tempat penyaluran ceritaku kepada orang lain (yang ahli) yang benar-benar tak mengenaliku. Kucari rekomendasi psikolog terbaik di kota ini. Bahkan, ia sudah mengantongi beberapa sertifikat yang berkaitan dengan masalahku. Aku harap, cara ini menjadi salah satu bentuk pertolongan Allah juga untukku.
***
Setelah melewati satu bulan yang berat, akhirnya kubagi dalam beberapa fase yang kurasakan. Kukenali dan kuidentifikasi perasaan-perasaan yang datang. Meski sulit, kunikmati semua prosesnya. Meski sakit, kuterima semua perasaan yang ada. Meski entah sampai kapan berlalu, aku masih bersyukur masih bisa terus melewati hari demi hari meski tertatih, meski harus tergopoh-gopoh, meski masih dengan berlumuran darah.
Kalimat pertama saat aku membuka suara dan mengeluarkan sedikit pembuka keluh kesahku, Mbak psikolog mengingatkan, "Semua orang akan mengalami fase yang berat dan sulit. Semua orang punya masalah terberat versi mereka masing-masing." Kucerna baik-baik kalimat itu. Aku takut, responsku terhadap emosi yang kurasakan selama sebulan terakhir terlalu berlebihan dan dianggap sebagai orang yang merasa paling tersakiti. Namun, aku tahu, semua orang akan mengalami fase ini, melewati fase dengan cara yang berbeda-beda. Lalu, aku harus menyadari, inilah salah satu fase terberat dalam hidup yang kualami. Dan inilah caraku untuk berusaha menyerok berbagai hikmah, belajar, dan berbagi, meski harus kupublikasikan. Aku berharap ini menjadi sebuah pelajaran besar dari Allah untukku, juga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang menyimak dan mengetahui.
Tentu saja, kejadian ini berhasil membuat aku kaget sekaget-kagetnya, bagai disambar petir di siang bolong. Kejadian yang tidak ada aba-aba, beberapa jam sebelumnya masih "baik-baik saja", berbincang-berkumpul bersama, tetapi kemudian beberapa jam setelahnya kuterima sebuah keputusan, melalui pesan singkat. Tentu saja responsku saat itu begitu shock, bingung, dan pasrah. Putusan telah terucap, dan secara agama, putusan ini dianggap sah, beriringan dengan aturan syariat yang berjalan. Janji yang terucap di depan Allah hingga menggetarkan arsy-Nya, kini telah diingkari. Sesuatu hal yang Allah benci meski diperbolehkan, kini terjadi. Mimpi yang dibangun dan usaha sekuat tenaga untuk menggapai harapan hanya terjadi sekali seumur hidup, kini telah terpatahkan.
Aku mengalami fase pertama, yakni selama dua minggu penuh, perasaan-perasaan yang datang sungguh tak karuan. Lebih tepatnya, masih dalam kondisi shock dan bingung membedakan mana yang nyata dan mimpi, meyakinkan diri apakah kejadian ini benar atau tidak. Respons tubuh saat seminggu pertama adalah memburuk, suhu tubuh meninggi berhari-hari, tidak sepenuhnya tidur saat malam hari, dan bahkan nyaris pingsan. Hal ini diperparah karena kondisi di rumah saat itu tidaklah kondusif. Mengapa? Karena dalam pekan itu pula, paman bungsu akan menikah. Semua sibuk, tetapi fokus terbagi menjadi dua: antara sedih dan bahagia. Namun, aku bersyukur kepada Allah karena Allah memberikan kekuatan padaku untuk hadir di acara bahagia paman bungsu, meski sepanjang acara, dunia terasa terus berputar di kepala dan mata. Kadang-kadang oleng dan nyaris terjatuh. Namun, sungguh, hari itu aku bahagia karena bisa merasakan bahagia.
Pada minggu kedua di fase pertama, kondisi tubuh mulai membaik meski masih dalam kondisi shock dan sulit membedakan antara nyata dan mimpi. Di minggu kedua ini, aku selalu merasakan kaget saat terbangun dari tidur. Rasanya, selalu ada batu besar yang menindih tubuh. Sesak? Iya. Berat? Iya. Kucoba nikmati perasaan yang hadir. Kucoba kenali pelan-pelan apa yang sedang aku rasakan. Kucoba perlahan mengidentifikasi perasaan yang ada saat itu. Aku terima. Aku terima.
Setelah melewati fase bingung hulang-huleng meski perasaan marah, sedih, dan kecewa sudah hadir, aku mulai merasakan fase kedua. Fase ini terjadi selama dua minggu kemarin (dan entah sampai kapan), tepat ketika aku harus menyeberang pulau, ketika mulai berkumpul dengan keluarga inti, ketika mulai meninggalkan support system yang ramai di Bandung. Di fase ini, aku mulai sadar dengan realita yang ada. Aku sudah berada di tempat yang berbeda dan dalam kondisi yang berbeda.
Pada fase ini, setelah marah dan "menolak", rasa baal atau mati rasa yang terjadi di dua minggu sebelumnya ternyata sudah hilang. Luka-luka mulai terasa semakin perih dan menyayat, darah-darah semakin deras mengalir. Kejadian-kejadian buruk traumatis di masa lampau semakin datang menghampiri. Betapa ringkih dan rapuhnya hati hingga sudah pecah berkeping-keping. Katanya, fase ini memasuki fase depresi. Ada waktu-waktu air mata tiba-tiba jatuh (bahkan begitu deras) tanpa bisa aku tahan. Ada masa dada begitu terasa sesak hingga kesulitan bernapas. Ada saat rasanya ingin teriak kencang memecah gelombang. Sungguh begitu sulit, tapi aku terima proses ini. Aku terima.
Berulang kali aku meminta maaf kepada Allah karena sering menjadi makhluk-Nya yang abai dan lalai. Namun, berulang kali pula aku berterima kasih pada-Nya karena Dia begitu banyak menggerakkan hati orang untuk berkenan merasakan empati dan berkenan melontarkan doa-doa baik untukku. Berulang kali aku berterima kasih karena Dia masih terus baik dan membantuku, memberiku banyak sekali kekuatan. Berulang kali pula aku meminta untuk bisa menjalani semua proses ini dengan baik, juga dengan bimbingan-Nya.
Bagiku, bagian mengidentifikasi rasa seperti ini yang justru bisa menjadi sulit. Aku pernah berbincang dengan seorang teteh sepupu, membicarakan kelanjutan kasus dan beberapa kabar buruk yang menghinggapi lagi. Kukatakan padanya, "(Saking pahitnya), Kok lucu banget ya bisa sampai begini." Tapi ia berkata, "Jangan bilang lucu, ini kejadian pahit, peluk perasaannya. Ini kejadian pahit."
Kucoba mengetahui perasaan-perasaan yang ada agar aku bisa semakin mengenal dan memahami perasaan ini. Kuakui semua luka yang hadir dan tak kusembunyikan luka-luka itu agar kutahu ada di mana, berapa, mengapa, dan bagaimana luka-luka itu perlahan kusembuhkan, juga dengan bantuan-Nya.
Kurayakan semua prosesnya, entah itu baik, buruk, bahagia, sedih, marah, ataukah kecewa. Aku berterima kasih kepada diriku untuk tidak menyakiti diriku sendiri. Aku berterima kasih kepada diriku karena masih terus menaruh harap besar pada Sang Ilahi.
Ya Allah, tolong bantu aku mengumpulkan banyak sekali hikmah yang terserak dari kejadian ini.
(image by Elja on Canva Studio) Pada tahun dengan angka kembar per dua digit, perahu ( atau kita sebut saja kapal ) yang masih kecil dan rin...
Perahu Kecil yang Ringkih (1)
(image by Elja on Canva Studio) |
(image by Savanevich Victar on Canva Studio) Rasanya, baru kali ini tertarik untuk menulis catatan satu tahun perjalanan. Saya tak memanda...
Catatan Setahun Perjalanan
(image by Savanevich Victar on Canva Studio) |
Rasanya, baru kali ini tertarik untuk menulis catatan satu tahun perjalanan. Saya tak memandang pergantian tahun sebagai sebuah perayaan seremonial, tetapi saya selalu melihat segala hal yang telah dialami dan dirasakan selama satu hari, satu bulan, hingga satu tahun ke belakang—dan kebetulan sekarang berada di penghujung tahun masehi (menjadi sebuah catatan peringatan juga bagi saya karena lebih hafal tahun masehi daripada hijriyah). Semuanya adalah apa-apa yang telah Allah takdirkan untuk saya syukuri dan pelajari.
Tahun ini adalah salah satu tahun penuh batu besar dengan arus sangat deras saat saya melakukan perjalanan. Saya seperti sedang mengarungi sungai; kadang dibuat terlena dengan arus air yang tenang, kadang dibuat waswas karena deras sungai yang begitu menegangkan dan membahayakan. Terlebih di sepanjang jalan, saya banyak menemukan batu-batu besar yang mampu merusak perahu saya, atau bahkan membuat saya tenggelam.
Tahun ini adalah tahun yang membuat saya akhirnya menceklis beberapa mimpi kecil yang saya tulis. Saya kembali dipertemukan dengan seorang musyrifah (yang saya temui tahun lalu) untuk memperdalam ilmu tahsin bersanad, saya juga dipertemukan dengan banyak orang dan diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmu yang saya dapatkan. Saya perlahan mulai mengerti tentang membaca Alquran yang baik dan benar setelah sebelumnya, saat SMA, saya menangis tersedu-sedu—dan menyalahkan diri sendiri—karena saya tak mampu membaca dengan benar—meski lancar. Tak mampu membaca sesuai ilmunya, pun sesuai yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Tahun ini, saya kembali bersemangat untuk menulis—meski secara beramai-ramai. Saya diberi kesempatan untuk menghimpun dan membaca pertama kali tulisan-tulisan keren, yang juga menghantarkan saya pada beberapa kesempatan berbagi pengalaman dan sedikit pengetahuan yang telah saya dapatkan.
Tahun ini, saya mampu melewati sidang proposal penelitian. Kala itu saat menyusun proposal, saya begitu semangat menggebu-gebu. Terasa nikmat saat menyusun karya ilmiah buah pikiran sendiri, saat menemukan dan memecahkan sesuatu sebagai hasil rasa penasaran saya, dan saat melahap beragam referensi buku dan jurnal. Begitu bahagia—meski letih dan lelah—menyusun proposal sebagai bentuk implementasi dari ilmu yang telah saya dapatkan selama di kampus. Saat itu, saya begitu idealis dan optimis.
Tahun ini, saya perlahan dapat membuka tabir tentang pertanyaan dan perjalanan hati. Sekian lama saya menanti, akhirnya Allah bukakan satu pintu sebelum masuk pintu yang lain. Allah beri kunci yang harus saya jaga untuk kemudian bersama membuka pintu yang lain. Saya bahagia. Tentu.
Namun, semua kebahagiaan yang saya dapatkan, juga diberi sepaket berupa kesedihan. Ketika saya merasakan kenikmatan menyusun proposal, saya juga harus sangat bersabar dan kuat melawan trauma saya—yang saat SMA dulu pernah saya rasakan. Takdir dan putusan—yang tentu diberikan oleh Allah—tak hanya membuat saya berjuang menyusun skripsi, tetapi juga berjuang melawan rasa trauma bersifat personal yang sebelumnya tak terduga akan saya alami kembali. Saya takut. Saya menangis tak henti-henti. Semua bayangan buruk yang pernah saya alami kembali terngiang dan sempat terjadi beberapa kali dalam waktu yang belum lama. Saya bingung. Saya ketakutan, tetapi sulit menceritakan kepada orang. Hingga akhirnya, skripsi yang sedang saya susun tak semulus yang saya harapkan. Di saat yang lain sudah berlari, saya masih tertatih-tatih berjalan.
Di perjalanan yang lain, saya kira, pertanyaan dan perjalanan hati saya sudah terjawab dengan tepat. Namun, Allah tangguhkan semua rencana dan harapan yang telah disusun dan dieja dari satu hingga seribu. Saya masih sulit mencari pintu selanjutnya, meski kunci telah saya genggam. Batu besar yang menghalangi dan arus yang begitu deras menjadikan saya cukup kewalahan menjaga kunci dengan baik, terlebih begitu sulitnya pintu yang harus saya temukan.
Di pertengahan jalan, saya harus fokus memperbaiki perahu yang rusak agar saya tidak tenggelam. Saya harus memilih cabang arus sungai ke jalan yang berbeda dari jalan yang direncanakan. Saya harus lebih siaga kalau-kalau kelak bertambah pula rintangan yang menghadang.
Meski bahagia dan sedih adalah respons subjektif perasaan seseorang, saya menjadi belajar untuk bisa menghargai perasaan sendiri. Ketika saya bahagia, saya tak boleh terlena karena arus tak selamanya tenang. Ketika saya merasa sedih, takut, hingga sakit, saya harus sadar bahwa perasaan itu akan menguatkan saya jika saya sikapi dengan baik dan membuat saya lebih siaga melawan rintangan di depan. Meski semua yang terjadi mengharuskan saya kembali menata ulang harapan, rencana, dan jalan yang saya tempuh, saya harus yakin bahwa semua sudah diatur Allah dengan sangat baik dan akan menjadi baik. Meski, saya sedang berhati-hati sekali untuk bermimpi, meski saya dilanda bingung hendak ke mana arah melangkah, saya harus yakin bahwa saya tak pernah sendiri. Allah selalu membantu menerangi jalan, menolong dan menjaga saya di kala arus tenang maupun deras, pun mendengar semua harapan, kesedihan, dan ketakutan.
Jadi, mari mulai kembali, Ikfi.
(Akhir 2019)
(image by Mohanraj Suvarna on Canva Studio) Perjalanan seorang insan dalam mengarungi bahtera kehidupan menjadi sebuah kepastian bagi siapa...
Memaknai Sebuah Perjalanan
(image by Mohanraj Suvarna on Canva Studio) |
Perjalanan seorang insan dalam mengarungi bahtera kehidupan menjadi sebuah kepastian bagi siapa pun yang Allah izinkan hidup. Bahkan, perjalanan dirinya tak hanya berhenti hingga dunia, namun akan terus berlanjut pada kehidupan setelahnya—akhirat.
Saya menyukai travelling. Saya suka jalan-jalan. Saya menghargai setiap perjalanan, baik jarak dekat ataupun jauh. Saya menikmati setiap perjalanan, baik sendiri maupun ditemani. Perjalanan (baik jalan kaki, naik motor, mobil, pesawat, kereta api, ataupun kapal laut) adalah sebuah bentuk aplikasi tauhid. Di dalam prosesnya, ada ujian keimanan yang Allah berikan.
Di banyak perjalanan, qadarullah saya harus pergi sendiri. Kondisinya tidak memungkinkan ditemani oleh siapa pun (tentu orang-orang yang merantau seberang pulau paham betul, kan? Bukan hanya seberang pulau, banyak teman-teman yang bepergian lintas kota ketika pulang dari perantauan ke rumahnya masing-masing, juga sendiri). Ketika kondisinya mengharuskan sendiri, serahkan perjalanan yang akan kita tempuh pada Allah. Ini poin pertama dari tauhid. Berserah hanya pada Allah.
Tentu, ada banyak harapan dari sebuah perjalanan. Ketenteraman, kenyamanan, keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan—yang bermuara pada permintaan perlindungan dan pertolongan. Lalu, pada siapa kita meminta selain kepada-Nya? Tentu, tidak ada satu pun tempat bergantung selain kepada Allah. Inilah poin kedua dari aplikasi tauhid.
Persiapan sebelum perjalanan, mengemas barang, menyiapkan badan untuk tetap sehat, menyiapkan dana, hingga melihat tujuan, jarak tempuh, dan perencanaan transportasi adalah hal lumrah yang banyak dilakukan. Namun, satu bekal yang patut dibawa dan dijaga selama perjalanan adalah takwa—melaksanakan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Dengan takwa, Allah menjaga kita dari gangguan dan marabahaya. Dengan takwa, kita tidak melupakan adab di setiap kesempatan. Dengan takwa pula, Allah yang menjadikan perjalanan kita sarat akan kebaikan dan keberkahan.
Kemarin, kini hingga nanti, tiap-tiap diri kita adalah musafir. Pergi dan berhenti pada perjalanan sendiri-sendiri. Mulai dan berakhir pada waktu sendiri-sendiri.
Semoga kita selamat dalam perjalanan, juga selamat pada akhir perjalanan kita.
Media Sosial
Mari berteman!